Jumat, 21 November 2008

Merindukan Masa Lalu

















Apa persamaan yang Bro tangkap dari foto-foto jepretan Hp saya? Isinya motor semua?? Itu sudah pasti...Mereknya Suzuki semua?? Tidak juga, kan ada satu Honda CBR 900 di sana. Memang kebetulan yang saya temukan di jalan di kota Jena bermerk Suzuki. Wajar saja, mengingat penjualan Suzuki bertengger di posisi ke-2 penjualan sepeda motor di Jerman, hanya beda tipis dengan motor tuan rumah, BMW, yang menjadi juara kandang. Posisi ini mungkin saja tahun depan berubah, mengingat Max Neukirchner yang saat ini menjadi pembalap pabrikan Suzuki di ajang WSBK.
Kembali ke pertanyaan awal: Apa persamaan pesan yang ditampilkan foto-foto ini? Oke, yang saya maksud dengan menampilkan foto-foto ini adalah memberikan gambaran tentang jumlah sepeda motor yang wara-wiri di jalanan negaranya Michael Ballack ini. Yup, hanya sedikit!! Kenapa bisa begitu?
1. Cuaca yang tidak begitu bersahabat dengan bikers. Selain dari rentang waktu pertengahan musim semi di sekitar bulan April hingga awal musim gugur di awal bulan September, cuaca sama sekali tidak mendukung untuk bersenang-senang dengan si roda dua. Jarang bikers yang mau naik motor jika suhunya sudah dibawah 15 derajat celcius. Faktor alam inilah yang membuat tidak banyak pembalap motor asal Jerman yang sanggup berbicara banyak di dunia balap motor internasional. Bandingkan dengan Italia dan Spanyol yang memiliki iklim lebih hangat!
2. Naik motor adalah pilihan dan gaya hidup, bukan lebih dikarenakan kebutuhan. Jadwal bis, tramp dan kereta sangat bisa diandalkan, bahkan ketepatannya hingga hitungan menit. Tidak seperti kisah saya yang menunggu di stasiun UI hingga satu jam lebih sebelum toa berbunyi: Para penumpang yang terhormat, kereta tertahan di Stasiun Manggarai. Ada penumpang yang tersengat listrik! OOuucchh....
3. Orang Jerman sudah lebih tinggi kesadaran untuk melestarikan lingkungannya. Jika memungkinkan, mereka memilih naik sepeda. Banyak lho yang tampangnya kaya Heidi Klum tapi naik sepeda...coba di Jakarta, pasti mintanya naik mobil BMW. Yang membuat saya salut sih ketika menyaksikan sendiri dosen-dosen saya yang Professor dan Doktor ke kampus naik sepeda (ga kalah melankolis deh dengan Umar Bakri). Suatu hal yang saya ancungi dengan semua jempol yang saya punya. Bayangkan, hal yang lumrah bagi seorang Professor Jerman yang mengajar di universitas memiliki gaji 6000 Euro per bulannya. Kesahajaan sebuah kesederhanaan...
Bagaimana keadaan di Jakarta saat ini? Motor menjadi kendaraan yang menyelamatkan hidup orang banyak, tidak hanya mengebulkan asap knalpot, tetapi juga membuat asap dapur banyak orang tetap mengebul. Dampak kenaikan bahan bakar minyak, kemacetan lalu lintas serta transportasi umum yang secara ekonomis, kenyamanan, keamanan dan waktu tidak memadai membuat orang beralih menjadi bikers. Bahkan tidak sedikit yang tadinya mencela-cela sepeda motor jadi keranjingan naik motor. Namun, apa akibat negativnya???
1. Kemacetan lalu lintas yang bertambah parah. Ditambah kelakuan bikers yang indisipliner mencemarkan nama bikers. Ini berujung pada pembagian 2 kelas sosial di masyarakat yang kita tahu tidak bisa dibenarkan, tetapi kita pun tidak berdaya memeranginya: Mobil= orang kaya, mengerti aturan vs. Motor = orang kecil, tidak tahu aturan lalu lintas dan egois.
2. Perlakuan pada motor yang tidak motorsiawi. Ayo, siapa sih yang motornya belom pernah baret gara-gara parkir di parkiran umum yang bikin motor-motor kita jadi kaya ikan bandeng presto gara-gara digeser-geser dan digencet sana-sini??
3. Bermunculan klub-klub motor hanya karena sejenis. Tunggu dulu, ini bukannya negativ, tentunya dan mudah-mudahan lebih banyak positivnya. Tapi kita harus introspeksi juga, berapa kali sudah terjadi kasus klub motor menindas pengendara lainnya? Ini menjadi PR yang tidak mudah buat Bro-bro yang aktif di perkumpulan motor.

4. Komponen palsu! Bengkel kejar setoran! Keduanya kerap menghantui Bikers, terutama yang tidak terlalu mahir dalam soal bongkar-pasang motor dan segala piranti pendukungnya.
5. Banjir produk motor! Ini negatif?? tidak juga sih, dari sisi pilihan dan harga, tentunya sebagai konsumen kita diuntungkan. Namun, jika kita lihat dari sisi lain, bukankah harga jual kembali jadi lebih parah jatuhnya dibandingkan masa sebelum booming motor di Indonesia?? Tampaknya pendapat yang mengatakan, bahwa motor sarana investasi yang baik, perlu ditinjau ulang.
6. Apakah kita siap mengalami kondisi yang dialami bikers Vietnam? Dalam sebuah siaran televisi, Vietnam di satu sisi sangat memberikan kebebasan bagi bikers: ga perlu helm ataupun protector lainnya!! Di sisi lain, di sana naik motor sudah seperti Jamaah Haji di Terowongan Minah, pada merayap bo... Ya tidak separah itu sih, tapi apa enaknya naik motor kalau semua jalanan seperti itu??? Apakah perbandingan jumlah motor dengan jumlah penduduk bisa tetap terjaga proporsinya? Di siaran TV itu dikatakan, jumlah penduduk Vietnam 80 juta jiwa, jumlah sepeda motornya 40 juta saja!!!
7. Jika kemacetan sudah tidak terkendali, jika aturan yang menerapkan kadar emisi gas buang benar-benar ditegakkan dengan standard yang tinggi, bahkan jika motor sampai dilarang!! wah mimpi buruk...
Karena itulah, saya merindukan masa dimana naik motor adalah pilihan, bukan keterpaksaan...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar