Jumat, 19 Juni 2009

Bahaya Stereotip

Suatu hari sekitar 3 tahun lalu saya main ke rumah seorang teman. Dia bercerita, kalau hari itu dia melihat seorang cewe pengendara Mio terjatuh karena setangnya kesamber RX-King yang sok-sokan. Bukannya bertanggung jawab, sang pengendara malah menggeber motornya dan kabur........
Minggu depannya saya kerumah teman saya yang sama, dan kali ini dia yang jadi korban. Motor Vega R birunya yang belum satu tahun rusak sayapnya plus kerusakan minor lainnya. Teman saya sendiri hanya menderita beset dan keseleo, tetapi sakit hati dong, motor masih baru gitu lo... Yup, teman saya juga kesamber RX-King yang zig zag dengan belagunya, dan si RX-King pun melarikan diri...... Mendengar cerita ini, saya tidak kaget, karena:

Pada sekitar tahun 2002 di daerah dekat stasiun Tanjung Barat, saya menyaksikan sendiri di depan mata, sebuah RX-King selepas lampu merah menyodok kanan kiri dengan sembalapnya untuk tampil terdepan dan geber gas seenaknya. Bro yang kenal daerah ini pasti tau, jalanan di sekitar stasiun ke arah Depok di pagi hari memang lengang dan luas dan panjang, sip banget deh buat ngetes motor.

Dari suara mesin dan larinya, tampak si RX-King memang sudah korekan dengan knalpot standard bobok. Dan, kali ini yang kesenggol seorang anak SMA dengan motor bebeknya. Anak SMA itu terjatuh, untung kecepatan selepas lampu merah masih di gigi satu, masih pelan lah... Saya pikir, saya mau tolong dengan menghentikan si Tiger Hitam di tengah jalan supaya tidak tersambar kendaraan dari belakang. Namun, tampaknya pengendara lain ada yang bersedia membantunya. Di saat bersamaan, pengendara King yang berhelm cetok dengan tampang katronya melihat ke belakang dan memilih kaboooooooorrrrr..... Wong jalanan besar kosong melompong, RX-King korek pastinya mudah untuk melesat.

Saya yang sekitar 10 meter di belakang pengendara King sableng itu pun langsung ikutan tancap gas... dalam hati, enak aja nih orang seenak jidat maen kabur... Saya sih pede sekali ngejar RX-King spek korek harian. Kalau cuma korek karburator dan knalpot bobokan saja sih, dia ga bakal lepas... Maklum, settingan si Tiger Hitam di zaman jahiliyah dulu lumayan asoy, dipakai boncengan pun masih keuber itu RX-King kelas korek kampungan.

Singkatnya selepas stasiun saya sudah di samping kanan si pengendara RX-King gebleg itu... Merasa motornya tidak bisa kabur lagi, dia hanya bisa tetap tancap gas dengan tampang serba salah kadang nengok ke kiri takut saya pelototin (dan dalam hati pasti ciut banget tuh ketangkep, plus malu berat kalo RX-King ketangkep Tiger yang terkenal pelan). Dalam hati, mau saya apain ini orang ya, mau ditendang apa disenggol aja setangnya. Berdasarkan pengalaman zaman jahilliyah dulu, kalau adu senggol-senggolan setang, Tiger kemungkinan besar menang lawan RX-King ataupun Ninja 150.

Akhirnya saya pelototin saja tuh orang beberapa saat, sebab kalau saya senggol dan dia jatuh, kecil sekali kemungkinan helm cetok selamat dari kecepatan sekitar 120 Km/ jam... (pake Tiger standard juga keuber kok... korekannya cupu!). Saya pikir, kalau dia mati, ada gantian saya yang kabur, ataupun kalau saya berhentikan, saya juga tidak ada wewenang untuk menghakimi dia. Akhirnya saya tancap gas setelah bikin dia salah tingkah beberapa saat, saya pilih ngampus saja dibandingkan mengotori tangan mengurus biker yang bikin rusak nama bikers.
Nah berdasarkan dari kejadian yang saya alami, apakah saya berhak mengatakan seluruh pengandara RX-King pelaku tabrak lari? Apakah saya berhak mencap dan menggeneralisasi seluruh pengendara RX-King tukang ugal-ugalan? Jika ya, generalisasi itulah yang dinamakan stereotip.
Kenapa bisa ada stereotip? Mudah saja: Dunia itu terlalu kompleks! Otak kita tidak sanggup menyimpan informasi hingga mendetail. Oleh karena itu, informasi itu disederhanakan dan disimpan di otak sebagai Schemata. Informasi ini sifatnya prototip, artinya ada gambaran yang mewakili hal kompleks yang digambarkan. Stereotip sifatnya pun tidak lepas dari emosi kita sebagai manusia yang memperoleh gambaran stereotip itu dari hal-hal yang kita alami, kita baca, kita dengar atau kita peroleh dari sumber-sumber lain.
Di dunia bikers, ada beberapa stereotip yang umum, misalnya: RX-King motor jambret, Kawasaki warnanya hijau, Ducati warnanya merah, Harley Davidson penindas dan egois, Tiger jadul dan pelan, Yamaha boros, Honda awet dan sebagainya. Nah, apakah semua pendapat ini benar??? Sebagai bikers yang berilmu dan sudah punya pengalaman, kita bisa bilang Tidak! Tidak bukan berarti tidak benar semua atau tidak salah semua lho... Misalnya, Kawasaki ada yang memiliki warna lain selain hijau kan? Bukankah jauh lebih banyak RX-King yang dipakai mencari nafkah di jalan yang halal? Bukankah banyak yang protes kalau dibilang semua Yamaha boros? Bukankah ada kasus yang mengatakan Honda tidak awet?
Atau stereotip yang lebih besar cakupannya... misalnya: motor tidak tahu aturan, angkot bikin macet, orang Indonesia suka jiplak, orang Indonesia mental orang terjajah, orang Islam teroris dan sebagainya... Panas juga kan kalau ada orang yang koar-koar seperti itu? Pertanyaannya, apakah kita sendiri pernah terjebak pada stereotip? Sukar untuk mengatakan kalau kita tidak pernah menggunakan stereotip kan... Itu wajar kok, ingat, otak kita memang otomatis menciptakan stereotip itu. Stereotip berguna untuk memberikan orientasi, jadi tidak selalu negatif kan...
Namun, ketika kita tidak bisa lepas dari stereotip dan bersikeras stereotip itu berlaku untuk semua, maka sangatlah berbahaya! Sifat semacam ini menandakan, pengalaman si orang ini sempit! Contoh, kalau dia bilang semua Kawasaki berwarna hijau (pastinya bukan bikers nih...), itu artinya dia tidak pernah lihat Kawasaki lainnya yang berwarna selain hijau! Atau ada yang bilang motor tua itu murahan (wakakaka......), artinya dia tidak kenal dunia motor tua binti klassik!
Menurut Prof. Bolten, yang semacam ini menandakan orang itu miskin pengalaman, atau lebih kasar lagi bisa dibilang BEGO! Udah bego, ngomongnya koar-koar ga karuan, bahaya ga tuh?? Kenapa saya bilang bahaya, terlebih bagi kita masyarakat Indonesia? Kita ini kan plural, banyak suku bangsa dan berbagai agama di dalamnya... Ingat kerusuhan di tingkat masyarakat pasca reformasi? Kerusuhan Ambon? Kerusuhan Sampit? Atau pertengkaran antar kampung lainnya..... Ini semua kan akibat adanya stereotip buta itu...
Makanya Bro, sebagai orang Indonesia dan sebagai manusia yang berakal, kita harus bisa mengontrol pandangan stereotip kita. Bahkan perang melawan stereotip buta sudah dimulai di dunia perdangdutan Indonesia! Benar Saudara Nunoe????? Situ doyan dangdut kan??? Bukankah dulu ada lagu dangdut yang begini nih: Tidak semuaaaa laki-lakiiiiiiiiiiiii.........

Sumber:

Prof. Dr. Jürgen Bolten, Dozent für Interkulturelle Wirtschaftskommunikation der FSU-Jena

Diolah oleh: Prof Dr. Arie Slight SS (Sarjana Sotoy)

Foto: HP-Klassikku

9 komentar:

  1. Betul sekali saudara Arie..
    Untuk bisa menangkal bahaya stereotip, banyak2 gaul, perluas wawasan..dunia itu luas..dan dangdut itu ngga selalu identik dengan kampungan..
    *efek kebanyakan nonton film Rhoma Irama waktu balita

    BalasHapus
  2. Rhoma: Rika....

    Rika: Rhoma.....

    Rhoma: Rika....

    Rika: Rhoma.........

    Rhoma pun mendekap Rika, sambil berkata:
    "Alhamdulillahh... (enyakenyakenyak...empuk euy...)
    Syukurlah Rika, kau baik2 saja..."


    WAKAKAKAKA:...........

    BalasHapus
  3. Halo bro..
    Terus terang artikel lo menceritakan isi hati gw semua. Di negeri yg bener2 plural ky indonesia ini emg chance utk men"stereotip"kan sesuatu sangat gede. Wajar..Krn emg indeks intelektualisme masyarakatnya jg rendah dan sifat bangsa kt yg wannabe. Jd ampir mustahil menghilangkan sifat stereotip ini, minimal sampai kiamat lah..

    BalasHapus
  4. selain bahaya yg disebut diatas, stereotip juga bahaya untuk indra pendengaran kita..
    apalagi kalo stereotipnya nyetel dangdut kenceng2 tengah malem, bakalan di gebugin warga se-RT..



    *kabur ah..tar yg punya blog ngamuk2..

    BalasHapus
  5. @Bro GTMC: Yup, ga mungkin ilang Bro.. itu udah bawaan otomatis kita sebagai manusia, sama aja kalo kita ngeliat motor baru, pasti kita otomatis menilai, apa tuh motor bagus apa ga desainnya, nah masalahnya, apakah kita bisa mengendalikan omongan dan penilaian kita apa ga aja...
    misalnya banyak yang suka duren, tetapi banyak juga kan yang ga suka..
    dan itupun bisa berubah sesuai pengalaman, makin kita berpengalaman, makin pinter kita mengendalikan diri.. mudah2an kita dan rekan2 kita termasuk orang yang "berpengalaman" ini ya..
    BTW, di GArut ada ga tuh yang namanya Yati Asgar yang dipelm mendadak dangdut? dicariin Nunoe tuh wakaka....

    @Nunoe: Wah ada juga dari RT lain dateng semua, sekalian ama kaki lima pada berdatengan mo dagang wakaka...
    nah tau2nya ga ada pesta kecewa dong, siap2 aja ente dikejer2..
    Ati2 naik mionya, ntar nabrak kebo kaya pak satpam hihi...

    BalasHapus
  6. oooo tip gw masih mono nih, blm stereo :D

    BalasHapus
  7. mendinglah mono, tape nyokap yang tadinya stereo ngadat jadi mono... terus ijk otak-atik, dan hasilnya tape uli! ancur minah.....

    BalasHapus
  8. halo bro, dion
    stereotip meripakan bentukan dari interaksi dalam masyarakat sehingga apabila interaksi sosialnya saling menguntungkan biasanya stereotip yang dihasilkan juga positif tetapi apabila interaksinya tidak menguntungkan biasanya akan lahir stereotip yang bernilai negatif pula, jadi kamu harus mampu melakukan interaksi yang saling menguntungkan untuk dapat mengindari terbentuknya stereotip negatif.

    BalasHapus
  9. dion, stereotip merupakan hasil dari suatu proses interaksi sosial, stereotip ada yang bernilai positif dan ada yang bernilai negatif, ini sangat bergantung dari hasil interaksi sosial yang terjadi, apa bila interaksi sosialnya saling menguntungkan akan menghasilkan stereotip yang bernilai positif sedangkan kalau merugikan maka akan menghasilkan stereotip yang bernilai negatif. jadi untuk mencegah terbentuknya stereotip yang bernilai negatif kita harus dapat melakukan interaksi sosial yang saling menguntungkan.

    BalasHapus